Beranda

Senin, 27 November 2017

Bukti

“Loe ngga punya malu ya?? Atau loe ngga ngerti Bahasa Indonesia?? Harus ya gue ngomongin ini berkali-kali?” bentakku pada seorang gadis di hadapanku. Ia hanya menunduk. Dapat kulihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tahu bahwa ia berusaha untuk menahan agar bulirnya tak turun menyusuri kedua pipinya. Sejujurnya aku begitu benci melihat seorang wanita menangis, namun aku benar- benar muak dengan sikapnya yang selalu membuntuti aku.
“Pokoknya, gue ngga mau tau ya!! Loe musti berhenti ngikutin gue!! Kalo perlu, ngga usah munculin muka culun loe di hadepan gue lagi!!” kataku lagi kemudian berbalik meninggalkannya. Bahunya bergetar, sepertinya kali ini ia benar-benar menangis di tengah tawa beberapa siswa yang berada di sekitarnya. Mungkin ini hal terkejam yang pernah aku lakukan. Mempermalukannya di depan banyak orang.
“Apa loe ngga keterlaluan, Ji? Kasihan banget tuh cewek. Ampe bergetar gitu,” kata Sammy berjalan di sampingku. Aku hanya mengangkat kedua bahuku dan memasang tampang tidak peduli.
“Loe kaya ngga tau sohib kita aja, Sam. . . Kelakuannya udah kaya dia yang paling sempurna di dunia ini. Terlebih lagi dengan makhluk yang bernama cewek. Mana ada yang berani ngedeketin dia dua kali setelah ditolak. Cuman tuh cewek yang ngga ada bosen-bosennya,” sambung Kent setengah mencibir.
“Berisik ah!! Buruan ke lapangan, ntar Pak James ngamuk kalo kita telat!!” kataku pada kedua sahabatku itu. Kami pun mempercepat langkah menuju lapangan basket.
“Hurry Up!!! Run run run!!! Udah telat masih aja nyantai kaya keong!!” teriak seorang pria paruh baya sembari menggemakan peluit yang begitu memekakkan telinga. Akulah yang pertama tiba di hadapan Pak James namun tak ayal juga ia memberiku hukuman berlari mengelilingi lapangan basket yang tergolong luas itu. Beberapa detik kemudian Sammy dan Kent menyusulku, kami hanya saling melirik sembari memasang tampang kesal.
“Sam,, oper. . .!!” jeritku sembari memberi kode, bola pun mengarah cantik ke arahku yang kemudian ku dribble dan shoot. . .
“Nice shoot, Ge!!” teriak pak James yang membuatku menggerutu. Aku benar-benar tak suka jika ia memanggilku seperti itu. “KAMPUNGAN”
“Udah,, jangan nekuk gitu!! Udah kaya pantat bebek!!” canda Kent yang diikuti tawa Sammy.
“Heh!!! Kalian!! Jangan bercanda di lapangan!! Lebih serius,, atau bapak akan menambahkan hukuman!!” seru pak James melotot. Kami pun melengos dan menyudahi kesenangan kami. Satu jam berlangsung dan kami diperbolehkan untuk beristirahat. Aku berjalan menuju bangku di pinggir lapangan. Aku mengerutkan kening saat kulihat sebuah botol mineral berwarna biru tergeletak di samping tas ranselku.

Aku minta maaf jika selama ini kamu merasa terganggu. Aku janji, aku tak akan muncul di hadapanmu lagi.
NB: Kau sangat tampan saat serius bermain. Fight!! J

Aku menghela nafas setelah membaca tulisan yang telah kuketahui siapa pengirimnya. Bukan hanya sekali dua kali, namun hal ini hampir menjadi rutinitas harianku sejak gadis itu masuk ke dalam hidupku. Aku kembali menerawang kejadian yang telah berlalu siang tadi. Yahh,, mungkin Sammy benar, aku sedikit keterlaluan. Aku tak berniat menyakitinya hingga seperti itu. Aku kembali menggeleng, huuhh,, peduli amat pada gadis itu. Intinya, dia tak akan muncul lagi di hadapanku. Dan itu membuatku bahagia. Bahagia?? Sekali lagi aku meyakinkan diriku bahwa aku bahagia karena tidak ada lagi yang mengganggu kehidupanku, meskipun dalam hatiku sedikit terbersit rasa emm rasa yang tak mampu kujabarkan.
Matahari hampir terbenam saat aku tiba di halaman rumah yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang membuat udara di sekitarnya sangat sejuk. Rumah yang didominasi oleh warna putih itu memiliki luas di atas rata-rata. Bagaimana tidak jika pemiliknya adalah salah satu pemilik perusahaan ternama di kota ini, Thomas Vernand Oliver. Ditambah lagi dengan fakta bahwa ia menikahi seorang designer terkenal, Valery Agatha. Satu hal lagi yang perlu aku jelaskan bahwa mereka hanya memiliki satu orang anak, George Vernand Oliver. Ya,, tidak salah lagi, akulah dia. Stop!! Aku tak suka jika ada yang memanggilku George,, sebut saja aku Ji. Itulah sapaan orang-orang kepadaku.
“Hey, Ji. Bagaimana sekolah hari ini?? Menyenangkan?” tanya seorang wanita paruh baya dengan tampilan yang sedikit glamour dan make up yang dipoles tipis di wajahnya.
“Sama seperti kemarin, mom. Emm,, where are you go??” tanyaku sembari mendudukkan pantatku ke sofa dan mulai menyetel Televisi yang berada di ruang tengah itu.
“Mommy akan pergi mengunjungi pembukaan perusahaan teman Daddy. Ettss,, ganti dulu pakaian kamu!! Kamu bau, Ji!!” kata Mommy memaksaku untuk bangkit dari zona kenyamananku.
“Bentar lagi, Mom. I’m very tired!!” kataku memelas.
“Mandi dan bersiap-siaplah, Ji!! Ikut bersama kami karena uncle Robby menanti kehadiranmu,” kata Daddy yang melangkah ke arahku. Ia tampak rapi dengan setelan jas biru pekatnya.
“Aku ngga akan pergi,” kataku merajuk.
“Ji!! Dengarkan kata Daddy. Atau fasilitas yang ada padamu akan Daddy ambil,” ancam Daddy yang membuatku mendengus kesal. Dengan berat hati, kulangkahkan kakiku ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap. Tak butuh waktu lama untuk melakukan semua itu dan kini aku telah berada di dalam mobil bersama kedua orang tuaku.
Suasana di pesta itu cukup ramai dan terkesan elegan. Semua undangan yang hadir merupakan kolega bisnis Daddy. Beberapa orang yang kutemui bahkan merupakan pejabat-pejabat penting Negara.
“Hay, Thomas!! Wow,, you look so pretty,, Valery!!” kata seorang pria seumuran Daddy yang Nampak dengan perut buncitnya. Aku hanya menggeleng memperhatikannya.
“Emm,, ini. . .?”
“Oh ya,, ini adalah putraku. Ji,, ini adalah uncle Robby yang mengadakan acara ini,” kata Daddy menjelaskan. Aku tersenyum singkat sembari menjabat tangan uncle Robby.
“Wah,, dia benar-benar tampan. Semoga ia tidak bosan dengan acara ini,” kata pria tadi yang baru kuketahui bernama Robby itu.
“Mom, Dad, Uncle,, aku ingin mengambil minuman di sana,” kataku yang mulai risih dengan pembicaraan mereka yang hampir semua tentang bisnis.
“Oke oke,, silahkan. Nikmati yang kau mau, George. Have fun,” kata uncle Robby yang membuatku sedikit kesal dengan sebutannya untukku. Akupun melangkah meninggalkan mereka. Setelah mengambil salah satu minuman yang terpajang di sana, aku berjalan mengelilingi ruangan pesta yang cukup luas itu untuk menghilangkan kebosananku. Gadis itu?? Bukannya dia. . .??
“Alice??” sapa seorang pria menghampirinya. Aku semakin terkejut mendapati salah seorang sahabatku menghadiri pesta ini. Gadis yang dipanggil alice itu berbalik ke arah pria itu.
“Sammy. . . Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alice mengerutkan keningnya.
“Aku menjadi pelayan pengantar makanan,” canda Sammy.
“Dengan pakaian seperti ini??” tanya Alice lagi. Wajahnya menunjukkan raut yang tidak mengerti. Sebodoh itukah ia sehingga mempercayai candaan Sammy??
“No no no. . . I’m just a joke, Alice. Jangan terlalu serius. Wajahmu terlihat aneh jika seperti itu,” kata Sammy tergelak.
“Kau jahat. Aku memang gadis aneh yang hanya bisa mengganggu. Bahkan Ji pun merasa amat terganggu dengan kehadiranku. Aku hampir saja pindah sekolah saat mendengar ucapannya tempo hari,” kata Alice dengan sendu. Hatiku berdesir mendengar perkataannya.
“Jangan terlalu dihayati, jalani saja semua yang terjadi. Dan menurutku, kau bukan gadis aneh. Bahkan malam ini pun,, kau terlihat cantik,” kata Sammy tersenyum. Ughh. . .,, aku merasa sedikit kesal saat mendengar hal itu, terlebih saat wajah Alice merona karena kata-kata seperti itu. Aku masih berdiam diri menyaksikan obrolan mereka yang sesekali tertawa karena ulah Sammy. Aku sangat mengenal karakter Sammy yang lemah lembut dan penuh humoris. Dan hal yang paling membuatnya terkenal di sekolah selain aku dan Kent adalah ketulusan hatinya. Tak heran jika siapa saja bisa dekat dengannya dan merasa nyaman. Aku tersenyum kecut saat Sammy mengajak Alice berdansa. Ada apa denganku???

@@ *** ~ *** @@
Aku bersandar di pagar tembok sembari memperhatikan setiap orang yang mengenakan seragam sepertiku berlalu lalang di hadapanku. Hampir seminggu aku tak pernah melihat Alice bahkan aku sengaja melewati kelasnya saat jam istirahat dan berharap menemukannya. Tapi hasilnya nihil. Ada yang kurang saat semua telah berubah. Tak ada lagi yang memberiku air mineral setelah latihan, tak ada lagi kotak makan siang, dan tak ada lagi surat-surat itu. Kupikir, aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.
Aku tersenyum riang saat kulihat gadis itu berjalan dengan beberapa buku di pelukannya. Ia terlalu memperhatikan jalan sehingga tak melihatku yang sedari tadi memandangnya. Aku menggenggam tangannya saat ia melewatiku dan menariknya menuju koridor perpustakaan yang saat itu sepi karena ini masih pagi. Belum ada tanda-tanda petugas perpustakaan yang datang untuk melaksanakan tugasnya.
“J. . .Ji. . .???” kata Alice gugup begitu melihat siapa yang menariknya kemari.
“Ya, ini gue,” kataku ketus. Aku merutuki kelakuanku yang tak bisa lembut dengan wanita. Seharusnya aku belajar pada Sammy tentang cara memperlakukan wanita.
“Ma..maaf. Aku ngga bermaksud untuk mengganggumu. Ku..kupikir biasanya kau tak pernah datang sepagi ini. Be..besok aku akan berangkat lebih pagi,” katanya menundukkan wajahnya. Ya tuhan, ternyata ia benar-benar melakukan segala hal agar tak muncul di hadapanku.
“Kamu terlalu banyak bicara!!” kataku yang mulai mengikutinya menggunakan aku-kamu. Alice semakin menunduk.
“Merindukanku??” tanyaku lagi masih tetap menatap wajahnya yang tertunduk. Ia menggeleng.
“Really??”
“A..aku ngga seharusnya merindukanmu,” katanya lebih pelan namun aku masih bisa mendengarnya. Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku.
“Aku merindukanmu, Alice. Maafkan aku,” kataku membuat tubuhnya bergetar. Aku mengerutkan keningku dan menjauhkan tubuhnya dari pelukanku. Ya tuhan, lagi-lagi aku membuatnya menangis.
“Apakah aku menyakitimu lagi?? Apakah kau sudah mendapatkan pria lain? Sammy?” tanyaku. Ia menggeleng dan membuatku semakin tidak bisa mengerti.
“Lalu,, apa yang membuatmu menangis??” Aku terkejut saat ia memelukku tiba-tiba.
“Hiks…. Aku. . . .aku senang. . . Tiap hari,, ti..ap jam,, tiap menit,,, bahkan tiap detik,, hikkss.. aku.. aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Hikks.. Ta…tapi aku ngga mau ka..kalau perasaanku ini memberatkanmu,” kata Alice sembari terisak. Aku tersenyum. Aku benar-benar bahagia. Kuresapi tiap debaran jantungku yang memompa lebih cepat.
“Untuk hari ini dan seterusnya,, kamu hanya milikku. Kamu hanya boleh merindukanku. Kamu hanya boleh tersipu karenaku, kamu hanya boleh tersenyum manis untukku. Aku ngga suka kamu tersenyum tersipu bahkan berdansa dengan pria lain,, sekalipun itu adalah Sammy,” kataku mengelus rambut panjangnya.
“Sammy??? Kapan. . .??”
“Saat pesta perayaan pembukaan perusahaan baru uncle Robby.”
“Ka..kamu datang. .??” aku mengangguk. Cukup lama aku menikmati posisi seperti ini, posisi yang menghangatkan sampai ke relung hatiku. Posisi yang mampu membuatku merasakan detak jantungnya yang juga berpacu seperti yang kurasakan.
“J. . .Ji. . .??”
“Hmm. . .??”
“Bolehkah aku melepasnya?”
“Kenapa?? Kau tak nyaman??”
“Sebentar lagi bel masuk bunyi,, aku tak ingin orang-orang melihat kita,” kata Alice yang menyadarkan tempat kami berada. Ya, kami berada di sekolah. Aku pun melepaskan pelukanku dan mengusap tengkukku. Kami pun memutuskan ke kelas kami masing-masing. Aku melambaikan tangan saat ia hendak masuk di kelasnya. Kami memang berbeda kelas, dan jaraknya cukup jauh. AKu bersikeras untuk mengantarkannya hingga ke depan kelasnya. Kemudian, aku mempercepat langkah kakiku menuju kelasku karena bel telah berbunyi. Aku benar-benar takut pada Mirs Stevy yang akan mengajar pada jam pertama. Ia benar-benar galak. Sepertinya sekolahku adalah sekolah yang dihuni oleh guru-guru killer. Hahahaha
“Loe mau makan apa, Ji?? Hari ini loe yang bayar ya,” tanya Kent cengengesan.
“Dasar tukang makan ngga modal!! Eh,, btw loe kenapa Ji?? Dari tadi bersinar-sinar gitu. Kaya lagi bahagia gimana gitu,” kata Sammy membuat Kent lebih memperhatikanku dan kemudian mengangguk. Aku hanya menggeleng dan tersenyum.
“Wisshh. . . Loe kehabisan obat ya?? Tumben amat tuh senyuman keluar,” kata Kent lagi.
“Ehm. . . Hai. . .,” terdengar suara gadis yang amat kukenal menyapa dari arah belakang. Aku menoleh ke arahnya yang kini berdiri tepat di belakang tempat dudukku.
“Hay, Alice. Loe ada perlu ama gue ya?? Ya udah,, gue ngga jadi makan,” kata Sammy hendak berdiri namun aku menahannya.
“Duduklah, Alice,” kataku menggeser kursi di sampingku. Sammy dan Kent melotot tak percaya melihat kelakuan anehku.
“Wahh,, loe habis nabrak pohon ya, Ji? Loe kaya orang lupa ingatan gitu. Ngga ingat loe kejadian. .emmm….emmpp..,” cerocos Kent yang langsung dibekap oleh Sammy. Rupanya Sammy lebih peka dibandingkan curut yang satu itu.
“Mulai detik ini,, gue ngga mau loe,, apalagi loe,, ngerayu cewek gue!! Dan gue ngga suka ada yang ngerangkul dia apalagi berdansa dengannya,” tegasku sedikit mengancam. Sammy yang merasa dirinya menjadi pembicaraan utama hanya mampu tergelak.
“Udah gue duga,, loe pasti bakalan cemburu malam itu. Gue sengaja ngedeketin Alice karena gue udah liat loe berada ngga jauh dari tempat Alice berdiri. Yaa,, seenggaknya gue ngebantuin loe buat nyadar bahwa loe sayang sama Alice,” kata Sammy masih tertawa. Aku benar-benar malu saat mengetahui kebenarannya.
“Jadi?? Maksudnya ini gimana?? Gue masih kaga faham!!” kata Kent yang dari tadi melongo.
“Loe ngga usah faham, Kent!!” kataku berbarengan dengan Sammy. Kami pun menertawai Kent. Beginilah masa-masa SMA kami,,, masa-masa yang penuh persahabatan dan cinta, terkadang melakukan kesalahan dan menebus kembali kesalahan itu.

Memenangkan hatiku bukanlah satu hal yang mudah,,,
Kau berhasil membuatku tak bisa hidup tanpamu. . .
Menjaga cinta itu bukanlah suatu hal yang mudah. . .
Namun sedetikpun tak pernah kau berpaling dariku. . .
(Virgoun~Bukti)



The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar