“Loe ngga
punya malu ya?? Atau loe ngga ngerti Bahasa Indonesia?? Harus ya gue ngomongin
ini berkali-kali?” bentakku pada seorang gadis di hadapanku. Ia hanya menunduk.
Dapat kulihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tahu bahwa ia berusaha untuk
menahan agar bulirnya tak turun menyusuri kedua pipinya. Sejujurnya aku begitu
benci melihat seorang wanita menangis, namun aku benar- benar muak dengan
sikapnya yang selalu membuntuti aku.
“Pokoknya,
gue ngga mau tau ya!! Loe musti berhenti ngikutin gue!! Kalo perlu, ngga usah
munculin muka culun loe di hadepan gue lagi!!” kataku lagi kemudian berbalik
meninggalkannya. Bahunya bergetar, sepertinya kali ini ia benar-benar menangis
di tengah tawa beberapa siswa yang berada di sekitarnya. Mungkin ini hal
terkejam yang pernah aku lakukan. Mempermalukannya di depan banyak orang.
“Apa loe
ngga keterlaluan, Ji? Kasihan banget tuh cewek. Ampe bergetar gitu,” kata Sammy
berjalan di sampingku. Aku hanya mengangkat kedua bahuku dan memasang tampang
tidak peduli.
“Loe kaya
ngga tau sohib kita aja, Sam. . . Kelakuannya udah kaya dia yang paling
sempurna di dunia ini. Terlebih lagi dengan makhluk yang bernama cewek. Mana
ada yang berani ngedeketin dia dua kali setelah ditolak. Cuman tuh cewek yang
ngga ada bosen-bosennya,” sambung Kent setengah mencibir.
“Berisik
ah!! Buruan ke lapangan, ntar Pak James ngamuk kalo kita telat!!” kataku pada
kedua sahabatku itu. Kami pun mempercepat langkah menuju lapangan basket.
“Hurry Up!!!
Run run run!!! Udah telat masih aja nyantai kaya keong!!” teriak seorang pria
paruh baya sembari menggemakan peluit yang begitu memekakkan telinga. Akulah
yang pertama tiba di hadapan Pak James namun tak ayal juga ia memberiku hukuman
berlari mengelilingi lapangan basket yang tergolong luas itu. Beberapa detik
kemudian Sammy dan Kent menyusulku, kami hanya saling melirik sembari memasang
tampang kesal.
“Sam,, oper.
. .!!” jeritku sembari memberi kode, bola pun mengarah cantik ke arahku yang
kemudian ku dribble dan shoot. . .
“Nice shoot,
Ge!!” teriak pak James yang membuatku menggerutu. Aku benar-benar tak suka jika
ia memanggilku seperti itu. “KAMPUNGAN”
“Udah,,
jangan nekuk gitu!! Udah kaya pantat bebek!!” canda Kent yang diikuti tawa
Sammy.
“Heh!!! Kalian!!
Jangan bercanda di lapangan!! Lebih serius,, atau bapak akan menambahkan
hukuman!!” seru pak James melotot. Kami pun melengos dan menyudahi kesenangan
kami. Satu jam berlangsung dan kami diperbolehkan untuk beristirahat. Aku
berjalan menuju bangku di pinggir lapangan. Aku mengerutkan kening saat kulihat
sebuah botol mineral berwarna biru tergeletak di samping tas ranselku.
Aku
minta maaf jika selama ini kamu merasa terganggu. Aku janji, aku tak akan
muncul di hadapanmu lagi.
NB:
Kau sangat tampan saat serius bermain. Fight!! J
Aku menghela
nafas setelah membaca tulisan yang telah kuketahui siapa pengirimnya. Bukan
hanya sekali dua kali, namun hal ini hampir menjadi rutinitas harianku sejak
gadis itu masuk ke dalam hidupku. Aku kembali menerawang kejadian yang telah
berlalu siang tadi. Yahh,, mungkin Sammy benar, aku sedikit keterlaluan. Aku
tak berniat menyakitinya hingga seperti itu. Aku kembali menggeleng, huuhh,,
peduli amat pada gadis itu. Intinya, dia tak akan muncul lagi di hadapanku. Dan
itu membuatku bahagia. Bahagia?? Sekali lagi aku meyakinkan diriku bahwa aku
bahagia karena tidak ada lagi yang mengganggu kehidupanku, meskipun dalam
hatiku sedikit terbersit rasa emm rasa yang tak mampu kujabarkan.
Matahari
hampir terbenam saat aku tiba di halaman rumah yang dikelilingi oleh pohon-pohon
yang membuat udara di sekitarnya sangat sejuk. Rumah yang didominasi oleh warna
putih itu memiliki luas di atas rata-rata. Bagaimana tidak jika pemiliknya
adalah salah satu pemilik perusahaan ternama di kota ini, Thomas Vernand
Oliver. Ditambah lagi dengan fakta bahwa ia menikahi seorang designer terkenal,
Valery Agatha. Satu hal lagi yang perlu aku jelaskan bahwa mereka hanya
memiliki satu orang anak, George Vernand Oliver. Ya,, tidak salah lagi, akulah
dia. Stop!! Aku tak suka jika ada yang memanggilku George,, sebut saja aku Ji.
Itulah sapaan orang-orang kepadaku.
“Hey, Ji.
Bagaimana sekolah hari ini?? Menyenangkan?” tanya seorang wanita paruh baya
dengan tampilan yang sedikit glamour dan make up yang dipoles tipis di
wajahnya.
“Sama
seperti kemarin, mom. Emm,, where are you go??” tanyaku sembari mendudukkan
pantatku ke sofa dan mulai menyetel Televisi yang berada di ruang tengah itu.
“Mommy akan
pergi mengunjungi pembukaan perusahaan teman Daddy. Ettss,, ganti dulu pakaian
kamu!! Kamu bau, Ji!!” kata Mommy memaksaku untuk bangkit dari zona
kenyamananku.
“Bentar
lagi, Mom. I’m very tired!!” kataku memelas.
“Mandi dan
bersiap-siaplah, Ji!! Ikut bersama kami karena uncle Robby menanti
kehadiranmu,” kata Daddy yang melangkah ke arahku. Ia tampak rapi dengan
setelan jas biru pekatnya.
“Aku ngga
akan pergi,” kataku merajuk.
“Ji!!
Dengarkan kata Daddy. Atau fasilitas yang ada padamu akan Daddy ambil,” ancam
Daddy yang membuatku mendengus kesal. Dengan berat hati, kulangkahkan kakiku ke
kamar untuk mandi dan bersiap-siap. Tak butuh waktu lama untuk melakukan semua
itu dan kini aku telah berada di dalam mobil bersama kedua orang tuaku.
Suasana di
pesta itu cukup ramai dan terkesan elegan. Semua undangan yang hadir merupakan
kolega bisnis Daddy. Beberapa orang yang kutemui bahkan merupakan
pejabat-pejabat penting Negara.
“Hay,
Thomas!! Wow,, you look so pretty,, Valery!!” kata seorang pria seumuran Daddy
yang Nampak dengan perut buncitnya. Aku hanya menggeleng memperhatikannya.
“Emm,, ini.
. .?”
“Oh ya,, ini
adalah putraku. Ji,, ini adalah uncle Robby yang mengadakan acara ini,” kata
Daddy menjelaskan. Aku tersenyum singkat sembari menjabat tangan uncle Robby.
“Wah,, dia
benar-benar tampan. Semoga ia tidak bosan dengan acara ini,” kata pria tadi yang
baru kuketahui bernama Robby itu.
“Mom, Dad,
Uncle,, aku ingin mengambil minuman di sana,” kataku yang mulai risih dengan
pembicaraan mereka yang hampir semua tentang bisnis.
“Oke oke,,
silahkan. Nikmati yang kau mau, George. Have fun,” kata uncle Robby yang
membuatku sedikit kesal dengan sebutannya untukku. Akupun melangkah
meninggalkan mereka. Setelah mengambil salah satu minuman yang terpajang di
sana, aku berjalan mengelilingi ruangan pesta yang cukup luas itu untuk
menghilangkan kebosananku. Gadis itu?? Bukannya dia. . .??
“Alice??”
sapa seorang pria menghampirinya. Aku semakin terkejut mendapati salah seorang
sahabatku menghadiri pesta ini. Gadis yang dipanggil alice itu berbalik ke arah
pria itu.
“Sammy. . .
Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alice mengerutkan keningnya.
“Aku menjadi
pelayan pengantar makanan,” canda Sammy.
“Dengan
pakaian seperti ini??” tanya Alice lagi. Wajahnya menunjukkan raut yang tidak
mengerti. Sebodoh itukah ia sehingga mempercayai candaan Sammy??
“No no no. .
. I’m just a joke, Alice. Jangan terlalu serius. Wajahmu terlihat aneh jika
seperti itu,” kata Sammy tergelak.
“Kau jahat.
Aku memang gadis aneh yang hanya bisa mengganggu. Bahkan Ji pun merasa amat
terganggu dengan kehadiranku. Aku hampir saja pindah sekolah saat mendengar
ucapannya tempo hari,” kata Alice dengan sendu. Hatiku berdesir mendengar
perkataannya.
“Jangan
terlalu dihayati, jalani saja semua yang terjadi. Dan menurutku, kau bukan
gadis aneh. Bahkan malam ini pun,, kau terlihat cantik,” kata Sammy tersenyum.
Ughh. . .,, aku merasa sedikit kesal saat mendengar hal itu, terlebih saat
wajah Alice merona karena kata-kata seperti itu. Aku masih berdiam diri
menyaksikan obrolan mereka yang sesekali tertawa karena ulah Sammy. Aku sangat
mengenal karakter Sammy yang lemah lembut dan penuh humoris. Dan hal yang
paling membuatnya terkenal di sekolah selain aku dan Kent adalah ketulusan
hatinya. Tak heran jika siapa saja bisa dekat dengannya dan merasa nyaman. Aku
tersenyum kecut saat Sammy mengajak Alice berdansa. Ada apa denganku???
@@ *** ~ ***
@@
Aku
bersandar di pagar tembok sembari memperhatikan setiap orang yang mengenakan
seragam sepertiku berlalu lalang di hadapanku. Hampir seminggu aku tak pernah
melihat Alice bahkan aku sengaja melewati kelasnya saat jam istirahat dan
berharap menemukannya. Tapi hasilnya nihil. Ada yang kurang saat semua telah
berubah. Tak ada lagi yang memberiku air mineral setelah latihan, tak ada lagi
kotak makan siang, dan tak ada lagi surat-surat itu. Kupikir, aku
merindukannya. Benar-benar merindukannya.
Aku
tersenyum riang saat kulihat gadis itu berjalan dengan beberapa buku di
pelukannya. Ia terlalu memperhatikan jalan sehingga tak melihatku yang sedari
tadi memandangnya. Aku menggenggam tangannya saat ia melewatiku dan menariknya
menuju koridor perpustakaan yang saat itu sepi karena ini masih pagi. Belum ada
tanda-tanda petugas perpustakaan yang datang untuk melaksanakan tugasnya.
“J. . .Ji. .
.???” kata Alice gugup begitu melihat siapa yang menariknya kemari.
“Ya, ini
gue,” kataku ketus. Aku merutuki kelakuanku yang tak bisa lembut dengan wanita.
Seharusnya aku belajar pada Sammy tentang cara memperlakukan wanita.
“Ma..maaf.
Aku ngga bermaksud untuk mengganggumu. Ku..kupikir biasanya kau tak pernah
datang sepagi ini. Be..besok aku akan berangkat lebih pagi,” katanya
menundukkan wajahnya. Ya tuhan, ternyata ia benar-benar melakukan segala hal
agar tak muncul di hadapanku.
“Kamu
terlalu banyak bicara!!” kataku yang mulai mengikutinya menggunakan aku-kamu.
Alice semakin menunduk.
“Merindukanku??”
tanyaku lagi masih tetap menatap wajahnya yang tertunduk. Ia menggeleng.
“Really??”
“A..aku ngga
seharusnya merindukanmu,” katanya lebih pelan namun aku masih bisa
mendengarnya. Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku.
“Aku
merindukanmu, Alice. Maafkan aku,” kataku membuat tubuhnya bergetar. Aku
mengerutkan keningku dan menjauhkan tubuhnya dari pelukanku. Ya tuhan,
lagi-lagi aku membuatnya menangis.
“Apakah aku
menyakitimu lagi?? Apakah kau sudah mendapatkan pria lain? Sammy?” tanyaku. Ia
menggeleng dan membuatku semakin tidak bisa mengerti.
“Lalu,, apa
yang membuatmu menangis??” Aku terkejut saat ia memelukku tiba-tiba.
“Hiks…. Aku.
. . .aku senang. . . Tiap hari,, ti..ap jam,, tiap menit,,, bahkan tiap detik,,
hikkss.. aku.. aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Hikks.. Ta…tapi aku ngga
mau ka..kalau perasaanku ini memberatkanmu,” kata Alice sembari terisak. Aku
tersenyum. Aku benar-benar bahagia. Kuresapi tiap debaran jantungku yang
memompa lebih cepat.
“Untuk hari
ini dan seterusnya,, kamu hanya milikku. Kamu hanya boleh merindukanku. Kamu
hanya boleh tersipu karenaku, kamu hanya boleh tersenyum manis untukku. Aku
ngga suka kamu tersenyum tersipu bahkan berdansa dengan pria lain,, sekalipun
itu adalah Sammy,” kataku mengelus rambut panjangnya.
“Sammy???
Kapan. . .??”
“Saat pesta
perayaan pembukaan perusahaan baru uncle Robby.”
“Ka..kamu
datang. .??” aku mengangguk. Cukup lama aku menikmati posisi seperti ini,
posisi yang menghangatkan sampai ke relung hatiku. Posisi yang mampu membuatku
merasakan detak jantungnya yang juga berpacu seperti yang kurasakan.
“J. . .Ji. .
.??”
“Hmm. . .??”
“Bolehkah
aku melepasnya?”
“Kenapa??
Kau tak nyaman??”
“Sebentar
lagi bel masuk bunyi,, aku tak ingin orang-orang melihat kita,” kata Alice yang
menyadarkan tempat kami berada. Ya, kami berada di sekolah. Aku pun melepaskan
pelukanku dan mengusap tengkukku. Kami pun memutuskan ke kelas kami
masing-masing. Aku melambaikan tangan saat ia hendak masuk di kelasnya. Kami
memang berbeda kelas, dan jaraknya cukup jauh. AKu bersikeras untuk
mengantarkannya hingga ke depan kelasnya. Kemudian, aku mempercepat langkah
kakiku menuju kelasku karena bel telah berbunyi. Aku benar-benar takut pada
Mirs Stevy yang akan mengajar pada jam pertama. Ia benar-benar galak.
Sepertinya sekolahku adalah sekolah yang dihuni oleh guru-guru killer. Hahahaha
“Loe mau
makan apa, Ji?? Hari ini loe yang bayar ya,” tanya Kent cengengesan.
“Dasar
tukang makan ngga modal!! Eh,, btw loe kenapa Ji?? Dari tadi bersinar-sinar
gitu. Kaya lagi bahagia gimana gitu,” kata Sammy membuat Kent lebih
memperhatikanku dan kemudian mengangguk. Aku hanya menggeleng dan tersenyum.
“Wisshh. . .
Loe kehabisan obat ya?? Tumben amat tuh senyuman keluar,” kata Kent lagi.
“Ehm. . .
Hai. . .,” terdengar suara gadis yang amat kukenal menyapa dari arah belakang.
Aku menoleh ke arahnya yang kini berdiri tepat di belakang tempat dudukku.
“Hay, Alice.
Loe ada perlu ama gue ya?? Ya udah,, gue ngga jadi makan,” kata Sammy hendak
berdiri namun aku menahannya.
“Duduklah,
Alice,” kataku menggeser kursi di sampingku. Sammy dan Kent melotot tak percaya
melihat kelakuan anehku.
“Wahh,, loe
habis nabrak pohon ya, Ji? Loe kaya orang lupa ingatan gitu. Ngga ingat loe
kejadian. .emmm….emmpp..,” cerocos Kent yang langsung dibekap oleh Sammy.
Rupanya Sammy lebih peka dibandingkan curut yang satu itu.
“Mulai detik
ini,, gue ngga mau loe,, apalagi loe,, ngerayu cewek gue!! Dan gue ngga suka
ada yang ngerangkul dia apalagi berdansa dengannya,” tegasku sedikit mengancam.
Sammy yang merasa dirinya menjadi pembicaraan utama hanya mampu tergelak.
“Udah gue
duga,, loe pasti bakalan cemburu malam itu. Gue sengaja ngedeketin Alice karena
gue udah liat loe berada ngga jauh dari tempat Alice berdiri. Yaa,, seenggaknya
gue ngebantuin loe buat nyadar bahwa loe sayang sama Alice,” kata Sammy masih
tertawa. Aku benar-benar malu saat mengetahui kebenarannya.
“Jadi??
Maksudnya ini gimana?? Gue masih kaga faham!!” kata Kent yang dari tadi
melongo.
“Loe ngga
usah faham, Kent!!” kataku berbarengan dengan Sammy. Kami pun menertawai Kent.
Beginilah masa-masa SMA kami,,, masa-masa yang penuh persahabatan dan cinta,
terkadang melakukan kesalahan dan menebus kembali kesalahan itu.
Memenangkan hatiku bukanlah satu hal
yang mudah,,,
Kau berhasil membuatku tak bisa
hidup tanpamu. . .
Menjaga cinta itu bukanlah suatu hal
yang mudah. . .
Namun sedetikpun tak pernah kau
berpaling dariku. . .
(Virgoun~Bukti)
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar